|
KONSEP MATERI BIMBINGAN ATAU PENYULUHAN |
||
Nama NIP. Pangkat/Gol/TMT Jabatan |
: : : : |
Dwi
Setyawan, S.Ag 19770520
200501 1 005 Penata
Tk.I / IIId / 01 April 2018 Penyuluh Muda |
|
Topik Bahasan |
: |
Jalan
Menuju Sorga |
|
Media
Siar |
: |
Merapi
FM Boyolali |
|
Om Swastyastu
Om awighnam astu namo
siddham
Semoga senantiasa dalam
keadaan sejahtera lahir batin, terbebas dari segala mara bahaya atas karunia
Sang Hyang Widhi Wasa. Astungkara.
Para Pendengar setia Merapi
FM Boyolali dimanapun berada.
Teriring rasa syukur
marilah kita panjatkan puji astuti kehadapan Hyang Widhi Wasa, karena atas asih
wara nugrahanyalah kita dapat berjumpa kembali dalam mimbar Agama Hindu,
bersama saya, Dwi Setyawan, Penyuluh Agama Hindu pada Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Boyolali.
Pada kesempatan yang
berbahagia ini saya mengajak para pendengar berbicara tentang:
JALAN MENUJU SORGA DALAM
PERSPEKTIF HINDU
Pustaka Ramayana dalam
salah satu slokanya menjelaskan :
Guwa peteng tang madha,
moha kasmala
Maladi yolanya magong
mahawisa
Wisata sangwruh rikanang
jurang kali
Kalinganing sastra suluh
nika pradha.
artinya;
kemarahan, keserakahan
dan kesombongan bagai hidup di dalam goa kegelapan
yang dipenuhi dengan
binatang yang sangat berbisa namun bagi mereka yang memiliki pengetahuan, walau
di jurang dan sungai tiada menghalangi bagi orang yang berjalan diatas landasan
dharma.
Dari uraian tersebut
menegaskan bahwa orang yang dipenuhi pikiran nafsu kemarahan, keserakahan dan
kesombongan, sesungguhnya dirinya hidup bagai didalam goa yang gelap dipenuhi
dengan binatang berbisa.
Namun bagi mereka yang
memiliki pengetahuan dan berjalan diatas landasan dharma, maka merekalah yang
akan mampu keluar dari kegelapan itu. Karena menyadari sepenuhnya bahwa kesombongan,
keserakahan dan kemarahan muncul sebagai implementasi atau cerminan dari
triguna dan dominasinya pada watak rajas. Oleh karena itu memang harus
diminimalisir dalam kehidupan kita. Karena hal ini yang mendorong kita kedalam
jurang penderitaan.
Ada 3 hal yang mesti
harus dipahami ketika penderitaan itu menerpa pada diri kita;
1.
Adyatmatika dhuka
2.
Adhi daivatika dhuka
3.
Adhi baitika dhuka
Marilah kita telaah satu
demi satu agar kita dapat menguraikannya dengan baik dan tepat.
1.
Adyatmatika dhuka – bangunan penderitaan
ini muncul akibat dari hasil karmawasana
atau akibat dari perbuatan kita dimasa lalu (suratan tangan), maka mau
tidak mau, suka tidak suka, senang tidak senang hal itu mesti harus terjadi
dalam kehidupan kita. Penderitaan seperti ini tan kena ora atau harus dihadapi,
diselesaikan, diurai, janganlah lari, janganlah menghindar. Karena menghindar
dan lari dari kenyataan tidak akan menyelesaikan masalah, hanya akan menggeser
derita itu yang pada gilirannya nanti pasti
akan ketemu kembali.
2.
Adhi daivatika dhuka – penderitaan ini
terbangun sebagai akibat yang muncul
dari dalam diri kita, seperti; kebodohan, kemalasan, kesombongan, keserakahan,
kemarahan dsb. sebagai akibatnya adalah ketidakmampuan diri kita didalam
menangkap peluang dari pergerakan perubahan (owah gingsir) yang terjadi.
3.
Adhi baitika dhuka – penderitaan yang muncul
sebagai akibat faktor dari luar sedangkan kita tidak memiliki kemampuan untuk
menghadapinya. Hal ini bisa terjadi karena faktor alam seperti; terjadinya
banjir, tanah longsor, anomali musim dsb. Atau faktor manusia, seperti; adanya
tekanan, hambatan, rintangan, gangguan, ancaman dsb.
Dengan berdasarkan
pikiran yang jernih, mari kita bangun suatu keyakinan bahwa yang terjadi
terjadilah (narima ing pandum). Namun tidaklah berarti harus pasrah sumarah
begitu saja, tetapi mesti diiringi usaha, ataupun kerja keras untuk dapat
segera lepas dari penderitaan itu dengan melalui polah dan pasrah. Polah dalam
arti bagaimana kita berupaya, dan berusaha melalui kecerdasan intelektual
dengan memberdayakan ilmu pengetahuan, tehnologi, cerdas didalam mencari
peluang dan membangun etos budaya kerja penuh semangat yang dilandasi dengan
sepi ing pamrih rame ing gawe.
Sementara itu didalam
batin kita tanamkan sikap pasrah, artinya apapun yang kita terima mesti
dilambari dengan rasa lila legawa, selanjutnya kita pasrahkan, serahkan kembali
kepadaNya (sing gawe urip). Dengan doa dan atau karya spiritual yang didasari
dengan kesadaran bahwa tiada yang tercipta di dunia ini langgeng (tansah owah
gingsir) masih ada hari esok yang berubah, sebab yang langgeng adalah perubahan
itu sendiri.
Ketika perang Baratayuda
telah usai dan Shri Krshna sudah moksha, para Pandawa merasa bagai anak ayam
kehilangan induknya. Mereka bingung tiada lagi yang dapat dijadikan sebagai
paran para untuk menyelesaikan berbagai permasalahan didalam kehidupan di dunia
ini baik yang bersifat lahir maupun batin. Akhirnya mereka segera menobatkan
Parikesit cucu Arjuna anak dari Abimanyu menjadi Maharaja Astina dan para
Pandawa memutuskan dirinya melakukan wanaprasta, pergi hutan dan mendaki gunung
Mahameru.
Perjalanannya dengan
menggunakan kereta istana hanya sampai di batas hutan di kaki gunung Mahameru.
Kemudian mereka masuk hutan tanpa membawa perbekalan apapun. Setelah melewati hutan belantara di kaki
gunung Mahameru, mereka bertemu dengan
seekor anjing yang senantiasa mengikuti perjalanan mereka. Anjing ini nampaknya
tahu medan dan tahu tujuan yang hendak dituju oleh para Pandawa, sehingga dapat
membantu memberikan bantuan panduan arah lewat mana jalan yang mesti harus
dilalui, agar tidak tersesat dan atau melewati jurang yang teramat curam yang
mempersulit perjalanan mereka.
Perjalanan mereka telah
menempuh perjalanan panjang selama dua hari dua malam tiada henti, sudah cukup
dalam memasuki hutan. Drupadi nampaknya kelelahan, tiba-tiba dia terjatuh yang
akhirnya meninggal. Walau didalam sasana brata mereka terpaksa istirahat
sebentar melakukan upacara pitra puja untuk Drupadi.
Setelah istirahat
beberapa waktu Bima bertanya kepada Yudistira; “kenapa dia tidak bisa
menyelesaikan sampai di puncak Mahameru?”. Yudistira menjawab, “karena Drupadi
masih belum bisa melepaskan duniawi secara utuh. Siapapun mereka yang masih
mempunyai keterikatan dengan duniawi, akan sulit untuk mencapai kesempurnaan”.
Selanjutnya mereka
meninggalkan jenasah Drupadi dan mulai melakukan perjalanan lagi. Sehari
setelah itu Sahadewa terjatuh dan meninggal.
Mereka istirahat sementara waktu. Kali ini Arjuna yang bertanya kepada
Yudistira, “mengapa Sahadewa tidak mampu melanjutkan perjalanan menuju
kesempurnaan”. Yudistira menjawab bahwa Sahadewa mempunyai watak merasa dirinya
paling cekatan, paling sigap dan atau paling responsif. Watak ini termasuk
dalam kesombongan yang menghambat untuk dapat mencapai kesempurnaan.
Setelah merawat jenazah
Sahadewa, mereka melanjutkan perjalanannya. Sehari kemudian Nakula terjatuh dan
meninggal. Mereka istirahat sementara waktu lagi untuk melakukan merawat jenazah
sekadarnya. Kini Arjuna bertanya lagi kepada Yudistira. “Kakak, kenapa Nakula
kini yang gagal dalam menempuh perjalanan menuju ke kesempurnaan”. Yudistira
menjawab bahwa Nakula mempunyai watak sok cerdas. Watak ini juga termasuk dalam
kategori sombong. Watak adigang adigung adiguna ini akan menjadi kendala yang
serius ketika menuju ke kesempurnaan. Seperti kejadian terdahulu setelah mereka
usai dalam pangrukti jenasah melanjutkan perjalanan. Kini tinggal bertiga;
Yudistira, Bima dan Arjuna.
Perjalanan semakin
menempuh medan yang sangat berat. Karena tidak makan dan minum selama
perjalanan, kondisi phisik Arjuna semakin lemah. Setelah berjalan beberapa
hari, iapun terjatuh dan meninggal. Bima bertanya pada Yudistira, “Arjuna yang
memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas, kenapa tidak mampu menuju
kesempurnaan”. Yudistira menjawab bahwa Arjuna merasa dirinya yang paling
pandai dan pintar. Watak ini juga termasuk dalam kesombongan yang tidak akan
mampu sampai pada kesempurnaan.
Akhirnya tinggal berdua
yang melanjutkan perjalanan menuju ke puncak Mahameru yang merupakan simbol
kesempurnaan. Sebelum sampai di puncak tinggal beberapa meter lagi Bimapun
terjatuh dan meninggal. Tinggal Yudistira sendirinya yang sampai dipuncak
Mahameru bersama dengan anjing yang setia menemaninya.
Tiada tersangka ada
kereta yang datang dari sorga menjemput Yudistira. Ketika mau naik anjingnya
ditolak. Anjing tidak boleh naik kereta sorga yang suci itu. Yudistira ikut
turun dan berkata; “anjing ini telah membantu saya sampai di sini. Ini artinya
saya berhutang budi kepadanya. Saya tidak mau naik kereta sorga tanpa dia,
karena tanpa dirinya saya tak akan mungkin sampai disini. Atau saya harus
melakukan pembayaran terlebih dahulu akan hutang saya itu, agar saya terbebas
dari segala hutang karma di dunia ini”.
Dengan jawaban itu
ternyata anjing itu berubah wujud menjadi Dewa Dharma yang tiada lain sang ayah
dari Yudistira sendiri. Hal ini dilakukan sebagai ujian terakhir tentang
penghayatan dan pengamalan ajaran Dharma yang dilakukan oleh sang putranya.
Akhirnya Yudistira naik
kereta sorga dan Dewa Dharma kembali ke Kahyangan, sesampai disorga, ternyata
disitu dihuni saudara-saudaranya para Kaurawa yang sedang bersuka cita dengan
bergelimangan kegembiran yang tak berujung. Ketika diminta Yudistira segera
turun ke sorgaloka, dirinya menanyakan; “dimana guru, kedua orang tuaku dan
para leluhurku, saudara-saudaraku dan sahabat-sahabatku,
Saya kok tidak melihat satupun
diantara mereka disini”.
Batara Yama pemandu sorga
memberikan keterangan bahwa mereka berada di neraka loka. Dengan jawaban itu
Yudistira minta dirinya diantar ke nerakaloka untuk dapat bersama-sama dengan
mereka. Betara Yama menyatakan bahwa sorga neraka tergantung karma yang
dilakukan ketika hidup di dunia.Yudistira tetap bersikukuh untuk menuju
keneraka loka agar bias bersama dengan orang-orang yang mereka cintai. AkhirnyaYudistira
diantar keneraka loka.
Setibanya di neraka yang
penuh dengan siksaan dan penderitaan,dirinya turun dari kereta ikut serta larut
dalam penderitaan bersama dengan saudara-saudaranya. Batara Yama berkata bahwa
sesungguhnya pada saatnya nanti engkaupun juga akan tinggal disini walaupun
dalam waktu yang tidak terlalu lama, sebagai ashuba karmawasana yang telah
dilakukan ketika ditanya oleh guru Drona, siapa yang mati dalam laga perang
Baratayuda. Walaupun jawaban yang engkau berikan benar bahwa yang mati Gajah
Haswatama, Namun jawaban itu bermuatan kebohongan dan sangat tendensius karena
didalam pengucapan gajahnya dipelankan yang berakibat fatal terjadi kebingungan
yang berakhir gugurnya guru Drona.Oleh karenanya jika hal ini engkau mau masuk
neraka ya silahkan tidak ada salahnya.
Yudistira yang dikenal
penuh kesucian, ia berhasil sebagai ksatria yang mempertahankan dharma sebagai
panduan dalam kehidupannya. Noda setetes kebohongan yang pernah dilakukan
semata-mata bukan karena kemauan pribadinya, tetapi atas petunjuk Shri Kresna
yang harus mengatakan seperti itu, demi untuk kemenangan dharma dari adharma.
Namun demikian karena
akibat yang terjadi meninggalnya Guru Drona, hal inipun harus dipertanggung
jawabkan dan harus menghuni nerakaloka walau dalam waktu yang selaras dengan perbuatannya.
Setelah merasakan
kehidupan beberapa saat di nerakaloka, sedikit-demi sedikit intensitas siksaan
dan penderitaan semakin berkurang, semakin berkurang, semakin berkurang yang
selanjutnya neraka itupun berubah menjadi sorgaloka, sementara itu yang sorga
loka berubah menjadi nerakaloka.
Ketika Dewa Yama ditanya
kenapa ini terjadi, beliau memberikan jawaban bahwa sorga dan neraka adalah sebagai pertanggung jawaban perilaku
kehidupan makhluk di dunia. Ketika dunia mahapralaya yang sudah tidak ada
kesempatan lagi untuk penebusan sebagai hidup di dunia yang serba maya ini,
maka sorga dan neraka itulah sebagai tempat akhirnya. Walaupun sorga dan
nerakaloka sesungguhnya hanya sebuah terminal atau tempat penampungan
sementara, karena disitu masih terdapat rwa bhinedha; suka-duka, derita bahagia
dsb. bukan tujuan akhir dari suatu kehidupan – sangkan paraning dumadi. Kita
dari suwung kembali ke suwung jagading sonyaruri, Sangkan Paraning Dumadi.
Permasalahannya sekarang,
adalah; Tuhan Maha Suci, mungkinkah manusia yang masih berlumuran dengan noda
dan dosa dapat menyatu dengannya. Hidup di dunia ini sejatinya adalah sebagai
ajang laga untuk kita dapat mampu berpolah untuk semakin merapat kedermaga
pelabuhan Tuhan, dengan berpikir, berucap dan berkarya yang selaras dengan
nilai-nilai dharma sebagaimana para suci melaksanakannya.
Jika kita sadar akan hal
ini situasi dan kondisi dunia mesti harus dipahami sebagai maya atau ilusi
semata, artinya sementara dan penuh kepalsuan. Bukan sebaliknya terjebak dalam
ilusi maya dengan meletakkan masalah duniawi sebagai prioritas tujuan utama
didalam kehidupannya.
Jika hal ini yang
dikedepankan didalam menggapai tujuan, maka proses yang ditempuh dengan
melakukan segala cara dengan mengesampingkan nilai-nilai moral, etika,
peraturan perundangan maupun hukum agama. Seperti dalam Mahabarata, perilaku
Kurawa: berpura pura Pandawa dijamu dan dipestakan, seusai itu rumahnya
kemudian dibakar. Duryudana melalui guru
Drona menjerumuskan Bima yang merupakan tulang punggung Pandawa untuk mencari
tirta perwitasari ditengah samudera, mengundang Pandawa dengan menggelar
permainan dadu yang disiasati dengan kelicikan untuk menang, dsb.
Duryudana beserta
saudara-saudaranya walaupun kehidupannya di dunia penuh dengan kebencian dan keserakahan,
namun disisi lain banyak pula subhakarma yang diperbuatnya, seperti: suka menolong, dermawan, mempunyai rasa
kesetiakawanan sosial yang tinggi. Sebagai contohnya: ketika Suryaputra
terlecehkan dan terhina sebagai seorang sudra yang tidak memiliki hak untuk
bertanding dlm ajang laga tanding adu panah diantara ksatria Astina, dengan
tegas dan bijaksana langsung mengangkatnyas sebagai raja Awangga dengan
demikian maka dirinya berhak mengikutinya dan berhasil mengimbangi keunggulan
Arjuna. Oleh karenanya merekapun memiliki tiket juga untuk menghuni sorga untuk
sementara waktu yang selaras dengan karma yang diperbuatnya.
Menarik dari kisah tadi
kiranya dapat disimpulkan bahwa sorga dan atau neraka sangat terbuka bagi
siapapun, tergantung watak dan perilaku kita didalam penghayatan dan pengamalan
ajaran Agama dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun kendala langkah
kita masuk kedalam sorga adalah:
1.
Keterikatan terhadap duniawi seperti:
Drupadi
2.
Kesombongan seperti; Sahadewa, Nakula
3.
Egoisme, seperti Arjuna
4.
Keangkuhan, seperti Bima
5.
Kebohongan seperti yang dilakoni oleh
Yudistira
Mahabharata karya
Maharshi yang sudah gaduking pamengku oleh karenanya sepantasnya dapat
dijadikan sebagai panduan untuk melangkah perjalanan panjang menuju sangkan
paraning dumadi (kembali dari mana kita berawal).
Para Pendengar Merapi FM yang
budiman
Demikianlah mimbar agama
Hindu edisi kali ini, bagai sebutir pasir dilaut, semoga apa yang telah saya
sampaikan, dapat bermanfaat serta menambah wawasan keberagamaan kita.
Om sarwe bawantu sukinah
Sarwa santu niramayah
Sarwa bhadrani pasantu
Makascit duka bagbawet.
Semoga semua makhluk
berbahagia
Semuanya terbebas dari
penderitaan
Semoga senantiasa dalam
kedamaian
Terbebas dari segala
perseteruan
Om Shantih, Shantih, Shantih,
Om
Komentar
Posting Komentar